
Berdesa.com – Dana desa Rp.120 Triliun yang dijanjikan pemerintah bakal mengucur pada 2018 dipastikaan batal alias tidak jadi. Padahal jika direalisasikan maka setiap desa dipastikan bakal menerima Rp. 1, 4 Miliar, jumlah yang cukup besar bagi desa untuk pertama kali. Sayangnya angka itu tak jadi turun ke desa. Apakah penyebabnya?
Sebagaimana dikutip dari Liputan6.com, penyebab batalnya Rp.120 Trilliun dijelaskan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Boediarso Teguh Widodo disebabkan karena hasil evaluasi dana desa selama tiga tahun, ternyata dana desa belum optimal mencapai beberapa tujuan yang seharusnya dicapai.
Tujuan-tujuan itu antara lain untuk mengentaskan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat serta mengatasi ketimpangan layanan publik antar desa. “ Dana desa dalam tiga tahun terakhir memang berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin, persetase penduduk miskin dan gini rasio di perdesaan, itu harus diakui. Tapi peningkatannya tidak massif. Artinya multiplier efeknya belum maksimal. Jadi ada something wrong yang harus yang harus diperbaiki di dalam dana desa itu,” katanya. Alhasil, dana yang turun 2018 masih sama dengan tahun sebelumnya, Rp. 60 triliun.
Sebab lainnya, pemerintah masih kawatir terhadap kemampuan aparat desa pengelola keuangan desa. Boediarso menyatakan kemampuan aparat perlu ditingkatkan mengingat banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Soalnya, pengelolaan dana desa di tangan aparat yang tidak mumpuni bukannya menciptakan manfaat melainkan malah membuka celah penyalahgunaan dana, pemborosan hingga inefisiensi.
Kekawatiran mengenai kemungkinan penyalahgunaan dana oleh aparat desa ini sudah menjadi isu besar pada akhir 2017 lalu karena aparat desa yang dinilai belum siap mengelola dana sebesar itu untuk desa mereka. Karenanya Kemendesa menggandeng banyak pihak untuk mengawasi dana desa mulai dari aparat kepolisian hingga pemuka agama. Belum lagi Satgas Dana Desa yang juga sudah dibentuk Kemendesa. Kekawatiran dana desa menjadi ladang korupsi memang beralasan karena saat ini saja berderet-deret nama kepala daerah tercokok KPK akibat korupsi.
Meski batal tetapi tetap saja rencana kenaikan anggaran akan tetap dilakukan dan rencananya bakal direalisasikan pada 2019. Untuk menuju kesiapan itu makanya pemerintah menciptakan empat kebijakan baru terkait dana desa pada 2018 yakni mengenai cara distribusi dana desa, prioritas penggunaan dana desa pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai dana desa serta penyaluran dana desa. Kebijakan ini dilahirkan agar aparat desa se-Indonesia sudah siap ketika dana Rp. 120 triliun nanti diturunkan pada 2019.
Pada tahun ini pemerintah juga menerapkan mekanisme yang berbeda mengenani pengurangan alokasi dana desa yang asalnya 90 persen dibagikan secara merata, kini hanya 77 persen. Sekarang tidak semua desa mendapat jatah dana yang sama melainkan akan ada kenaikan bagi desa yang tergolong sangat tertinggal dan tertinggal dengan jumlah penduduk miskin tinggi.
Pembedaan jumlah penerimaan dana ini dimaksudkan agar desa yang sangat tertinggal dan tertinggal memiliki energy lebih besar mengejar ketertinggalannya.
Beberapa saat lalu pemerintah juga mengeluarkan kebijakan baru bagi 17 ribu desa se-Indonesia sebagai desa prioritas pembangunan. Ke-17 ribu desa itu adalah desa yang masih dianggap tertinggal dan sangat tertinggal dari berbagai faktor dan bakal mendapat banyak dukungan program dari pemerintah untuk mengejar ketertinggalannya. (aryadji/berdesa)
Kl cara pandang kita sebatas negatifnya… Ya pasti hanya segi negatif yg muncul, mari kita lihat pembangunan di desa saat ini… Mulai dari infrastruktur, rabat, gorong2.. siring, talut… Itu murni hasil pemikiran dan mehendak mereka berdasar musyawarah.. jadi tdk seprti bagunan yang non swakelola… Terkadang bukan kmauan atau yang dimaui atau yg dibutuhkan oleh mereka,
Warga juga merasa pekerjaan itu milik mereka, merasa rugi jika kualitasnya kurang baik…
Bgitu juga dgn padat karya yang muncul akibat swakelola… Yang dahulu mereka hanya mjadi penonton.
Harus dimulai dengan program tata ruang desa dahulu, baru target desa mandiri tercapai, tanpa didahului tata ruang desa, pemborosan dan unefisiensi akan terus terjadi. Jaminan itu.
Pemerintah sdh berkomitmen dalam pengucuran dana desa besar harapan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkindan tepat sasaran memang perlu penguatan dalam sistem pengelolaannya dalam artian dana desa ini untuk kepentingan bersama dengan masyarakat yg menerima manfaat serta pendampingan yang kuat dlm hal ini memang Aparatur desa sebagai pengelola kegiatan harus dibarengi dn SDM yang memiliki kualitas dan kuantitas dlm.managerial keuangan yang baik mgkn berhubung KPA nya adalah kepala desa, maka kepala desa memiliki peran penting dlm penggunaan dana desa tersbut saya fikir bukan dana desa saja dan terlbih alangkah indahnya peran pendamping yg direkrut oleh pemerintah lebih dapat dikuatkan lagi kenapa ya… Bnyak desa aparat desa seakan cuek tak peduli mau ada atau tidak pendamping tetap juga katanya ini desa kami, kami yg mengelola?!? Ini sebenarnya karakter dr desa sndri kita coba merubah itu mencoba memanagerial keuangan yang baik… Sehingga tidak ada penggunaan yanh salah dlm.penggunaannay… Intinya peran pendamping lebih diperkuat lagi sehigga kepala desa dan aparat desa merasa btuh dan harus butuh dngan arahan yg efektif dan efisien yg harus dikelola… Bukan ada apnya dn pendamping dan.
. Krn pendamping juga selama ini mengarahkan sesuai dn regulasi dan aturan hnya banyk aparat desa mengabaikan dan selalu menunggu aturan turunannya… Alangkah indahnya dgn pengelolaan managerial yg baik koordinasi yanh baik komunikasi yang baik antara aparat pemerintah desa, kabupaten kecamatan dan pendamping maka akan menghasilkan pencapaian tujuan bersama yang diinginkan sesuai dengan kehendak musyawarah mwncapai mufakat
Kurangnya masuk inovasi ke desa, sehingga efek bergandanya tidak terlalu besar
Lebih baik dana desa dialihkan saja alokasinya untuk biaya pendidikan, sekarang SMA/SMK Negeri siswa harus bayar spp lagi seperti dulu. contoh anak anak kami di Kab bekasi sekarang ini wajib bayar spp Rp. 300.000 perbulan.
walau itu melealui kesepakatan sebelumnya dengan komite sekolah, tapi apa daya dana Bos jauh dari mencukupi, ya akhirnya kami sepakat dengan spp jumlah tsb walau cukup berat demi operasional sekolah yang harus tetap berjalan.